Wednesday, June 27, 2007

Indonesia Butuh Balai Masyarakat

Masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia secara garis besar mencakup:

1. Kemiskinan. Kemiskinan di sini diartikan sebagai keadaan di mana kebutuhan-kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi. [Silahkan mengacu kepada BPS, BKKBN, Bank Dunia atau akal sehat sendiri untuk mendapatkan angka kemiskinan antara 40 sampai 100 juta penduduk]. Kemiskinan dapat dipandang sebagai sebab dan/atau akibat dari hal-hal yang akan disebutkan berikut ini.
2. Kebodohan. Kebodohan adalah keadaan di mana seseorang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan secukupnya yang dibutuhkan untuk memudahkan kehidupannya sehari-hari secara sederhana.
3. Kurangnya informasi. Yaitu kombinasi dari ketidaktersediaan informasi, kurangnya kemampuan mencari informasi dan kurangnya akses kepada informasi.
4. Kurangnya kewarasan sosial. Kewarasan sosial diartikan sebagai kepekaan sebuah masyarakat untuk melihat hal-hal yang menyimpang (yaitu hal-hal yang buruk atau yang berdampak buruk terhadap kemanusiaan dan lingkungan) sebagai sesuatu yang tidak boleh terjadi.
5. Kurangnya kemampuan pengorganisasian masyarakat. Kemampuan pengorganisasian adalah kemampuan untuk menyusun berbagai sumberdaya dalam masyarakat dan mengerahkannya untuk mengatasi masalah.

Masalah-masalah di atas dapat kita lihat wujudnya dalam keseharian kita dalam bentuk, antara lain, rendahnya pemenuhan pangan dasar bagi masyarakat, lingkungan hidup yang semakin buruk, kesemerawutan lalu lintas, tata kota dan pemukiman; tak terkendalinya sampah di banyak tempat; tingginya tingkat pengangguran; bertambah banyaknya gelandangan, pengemis dan anak-anak jalanan; kurangnya perhatian terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak; dan banyaknya konflik dengan kekerasan.

Berbagai lembaga, konsep dan program telah dibentuk dan dilaksanakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, baik oleh pemerintah maupun oleh LSM-LSM, tetapi sejauh ini upaya-upaya tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Diakui ada beberapa upaya yang tampaknya telah memberikan hasil positif secara sektoral dan lokal tetapi kemudian kita menghadapi berbagai hambatan ketika akan menerapkannya pada skala nasional. Hambatan-hambatan tersebut dapat berupa kurangnya sumberdaya manusia sebagai pelaksana, kurangnya dana, lemahnya koordinasi antar sektor dan/atau tingginya kompleksitas permasalahan masyarakat.

Sejalan dengan berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan bangsa Indonesia, tulisan ini mencoba mengajukan usulan kepada pemerintah dan berbagai pihak untuk membangun dan mengoperasikan apa yang penulis sebut sebagai ”Balai Masyarakat”. Balai Masyarakat, dalam bentuk seperti yang diusulkan di sini, merupakan lembaga dari, oleh dan untuk masyarakat yang akan dengan efektif memfasilitasi perubahan-perubahan sosial yang mengarah kepada perbaikan-perbaikan sehingga kelima masalah yang dicantumkan di atas dapat di atasi baik pada skala lokal maupun nasional. Selanjutnya, penulis akan menjelaskan berbagai hal mengenai Balai Masyarakat ini.

Balai Masyarakat (BM) atau community centre adalah sebuah lembaga sosial yang dikelola oleh masyarakat dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Lembaga ini berfungsi mendampingi/melayani masyarakat lokal, baik perorangan maupun kelompok, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka akan pengetahuan, keterampilan, organisasi, pendampingan, dukungan pribadi dan lain-lain dalam rangka pengembangan diri dan peningkatan kapasitas masyarakat untuk menjawab permasalahan yang mereka hadapi. Layanan yang diberikan pada umumnya berbentuk penyediaan sarana-sarana belajar, informasi, pendampingan, pengorganisasian, konsultansi, pelatihan dan kursus. Dengan kata lain, BM merupakan gabungan dari learning centre, information centre, resource centre, dan support centre bagi masyarakat lokal.

Sikap BM terhadap masyarakat adalah bukan menggurui, tetapi belajar bersama untuk membentuk masa depan masyarakat yang lebih baik. BM memandang masyarakat bukan seperti “BM sebagai penyedia jasa di satu sisi dan masyarakat sebagai pemakai jasa di sisi lain”, tetapi BM menjadikan dirinya milik masyarakat sendiri, yang lahir untuk menjadi bagian terpadu dari masyarakat. BM akan berperan sedemikian rupa sehingga masyarakat memandang BM sebagai bagian dari kampung halamannya sendiri.

Visi BM: Terciptanya masyarakat yang berdaya yaitu yang menyadari identitas kolektifnya dan memiliki kemampuan kolektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, memecahkan masalah-masalahnya dan bertahan dari kekuatan-kekuatan—baik internal maupun eksternal—yang merongrong keberadaannya.

Misi BM: Dalam kehidupan yang semakin materialistis dan individualistis ini masyarakat sering menyangka bahwa sumber kekuatan hanyalah uang dan jabatan; tanpa keduanya manusia tak berdaya. Mereka lupa bahwa pengetahuan, keterampilan, sarana kerja dan informasi adalah juga sumber-sumber kekuatan yang bahkan dapat lebih kuat daripada sejumlah uang dan jabatan. Dan sebagai individu atau kelompok sosial kita masih dapat melipatgandakan kekuatan yang didapat dari sumber-sumber tersebut dengan adanya sumber-sumber kekuatan lain yaitu dukungan moral, solidaritas, spiritualitas, kasih-sayang, cita-cita, koneksi, kerja sama, organisasi, dan jaringan kerja. Misi BM adalah mendekatkan sebanyak mungkin sumber-sumber kekuatan tersebut di atas kepada masyarakat agar masyarakat dapat menjangkau dan memanfaatkannya untuk memberdayakan dirinya.

BM percaya bahwa semua manusia adalah sederajat dan karena itu harus dihargai dan diberi kesempatan yang sama untuk hidup dan mengembangkan dirinya dan masyarakatnya sesuai dengan aspirasi dan kemampuannya.

Gambaran umum dari jenis-jenis layanan BM adalah sebagai berikut:

1. Pengorganisasian masyarakat
[Pengelolaan proyek-proyek masyarakat, peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup, pengelolaan konflik]. Membantu masyarakat untuk bertindak secara terorganisasi (formal dan informal) agar mampu menciptakan dan mengelola proyek-proyek masyarakat secara produktif, akuntabel dan mandiri (termasuk untuk mencari dana).
2. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan
Mengembangkan keterampilan masyarakat dalam berbagai bidang yang diperlukan (pertanian, usaha kecil, industri kecil, komputer dll.) dengan training, kursus, cross visit dll. Mencarikan beasiswa untuk peserta.
3. Pelayanan kemanusiaan [Pemenuhan kebutuhan dasar fisik - pangan, pakaian dan pemukiman – dan sosial]. Berupaya menghapuskan kemiskinan ekstrim. Memantau, mendampingi dan meningkatkan kesejahteraan kelompok termiskin dan kelompok rentan lainnya termasuk anak-anak, perempuan, orangtua tunggal, warga cacat dan jompo. Mengupayakan dan menyalurkan santunan kepada kelompok termiskin.
4. Penyediaan sarana belajar, informasi dan komunikasi. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dengan menyediakan perpustakaan umum/anak-anak dan internet secara gratis. Membuka wawasan masyarakat kepada dunia komunikasi/informasi modern (telepon, fax, internet, website, buletin masyarakat, ceramah, diskusi) dan mendorong mereka untuk berkomunikasi dan mendapatkan keuntungan untuk pengembangan diri mereka. Mendampingi pencari kerja.
5. Sarana pendukung: (a) Warung ATK, fotokopi, dan makanan ringan; (b) Tempat penitipan anak. Menjual ATK dan makanan ringan untuk pengunjung BM. Memberikan kesempatan kepada kaum ibu yang ingin berkegiatan/belajar sambil mengasuh anaknya.

Dalam kenyataannya, jenis-jenis layanan dan sarana yang disediakan akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan kapasitas BM yang bersangkutan.

Sasaran kegiatan BM bukanlah sektor tertentu tetapi masyarakat itu sendiri. Masyarakat didorong untuk sanggup memilih sektor-sektor yang membawa kebaikan bagi mereka dan meninggalkan sektor-sektor yang menghambat kemajuan mereka. Karena itu kegiatan BM bersifat lintas sektoral atau multidisipliner. Sektor-sektor yang merupakan kebutuhan akan dikembangkan secara alamiah dan sektor-sektor yang tidak merupakan kebutuhan akan dihilangkan.

Fokus BM tertuju pada aspek-aspek kehidupan masyarakat, bukan pada sektor. Hal ini didasarkan atas pengalaman bahwa pembangunan sektoral seringkali bersifat monofokus (seperti kuda delman berkacamata dengan sudut pandang yang sempit) sehingga mengabaikan sektor-sektor lain—dikenal istilah “ego sektoral”—yang pada akhirnya menghasilkan pembangunan yang tidak seimbang. Dalam perpektif BM, pengembangan sektor bukanlah tujuan pada dirinya sendiri tetapi hanyalah suatu cara pada suatu saat tertentu yang ditempuh untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Karena itu, yang dijadikan ukuran bukanlah produktivitas sektoral (seperti hasil padi per ha atau jumlah investasi per tahun) tetapi seberapa jauh hal-hal tersebut memberikan sumbangan kepada kualitas hidup masyarakat setempat.

BM tidak memberikan pelayanan formal untuk bidang-bidang hukum (seperti yang dilakukan LBH), kesehatan (seperti yang dilakukan Puskesmas) dan pendidikan (seperti yang dilakukan oleh sekolah-sekolah) tetapi BM menyadari kemungkinan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut dan mendukungnya secara informal dalam bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga yang bersangkutan.
Secara khusus BM tidak akan melakukan kegiatan politik dan tidak berada di bawah pengaruh sesuatu kepentingan atau partai politik.

Program-program yang dilaksanakan oleh BM akan diupayakan mengikuti prinsip-prinsip pengembangan masyarakat, yaitu sebagai berikut:
(a) Prinsip ekologis: holisme, keberlanjutan, keanekaragaman, perkembangan organik (bukan mekanik), pembangunan seimbang;
(b) Prinsip keadilan sosial: memperbaiki ketidakadilan struktural (ras, jender, kelas, umur, seksualitas, kecacatan), memperbaiki diskursus ketidakadilan (hubungan-hubungan kekuasaan), pemberdayaan, definisi kebutuhan, HAM;
(c) Menghargai unsur-unsur lokal: pengetahuan, kebudayaan, sumberdaya, ketrampilan, proses;
(d) Prinsip proses: kesatuan proses-hasil-visi, integritas dari proses, penumbuhan kesadaran, partisipasi, kooperatif dan konsensus, laju pembangunan, damai dan tanpa-kekerasan, keinklusifan, pembentukan komunitas;
(e) Prinsip global dan lokal: mempertalikan yang global dan yang lokal, praktik anti-kolonialis.

Masyarakat membutuhkan BM karena jenis-jenis layanan yang ditawarkan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu karena pelayanan dapat diperoleh secara gratis atau sangat murah sehingga terjangkau oleh masyarakat.

Sumber pembiayaan BM berasal dari sumbangan-sumbangan perorangan, swasta, lembaga swasta, pemerintah, dan donor luar negeri. Pengoperasian BM yang bersifat sosial juga didukung para relawan yang mendermakan pengetahuan, keterampilan, tenaga dan waktu mereka untuk melayani masyarakat. BM juga mendapatkan dana dari keuntungan langsung dalam pengoperasian Warung, Fotokopi dan jasa konsultansi untuk pemerintah dan swasta. BM tidak akan menerima sumbangan dari pihak-pihak yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat, misalnya perusahaan rokok.

Sebagai sebuah lembaga sosial BM adalah bagian dari masyarakat madani dan merupakan mitra pemerintah dalam pembangunan Indonesia. Setiap BM adalah independen terhadap sesamanya tetapi mereka memiliki jaringan kerja sama yang erat secara nasional.

Wilayah kerja sebuah BM tidak mengacu kepada wilayah administrasi pemerintahan tetapi didasarkan atas pola persebaran penduduk dan kebutuhan masyarakat. Meskipun demikian, secara umum dapat diperkirakan bahwa dalam satu kecamatan paling sedikit akan dibutuhkan adanya sebuah BM.

Dengan terbentuknya ratusan BM yang tersebar di seluruh Indonesia maka masyarakat memiliki wadah dan kesempatan alternatif untuk mengekspresikan aspirasinya dan mengembangkan dirinya secara kreatif, mandiri dan demokratis. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang berdaya yang mampu mengatasi masalah-masalah mereka dengan baik. Pembentukan dan pengoperasian balai masyarakat sangat sesuai dengan konsep-konsep demokratisasi, penguatan masyarakat madani dan pembangunan dari bawah.